-->

PARADOKS PENDIDIKAN INDONESIA: Undereducated, yet overeducated

PARADOKS PENDIDIKAN INDONESIA: Undereducated, yet overeducated

Oleh: Elwin Tobing, Profesor Ekonomi, Presiden INADATA, Irvine, AS

 

Bulan lalu Biro Pusat Statistik (BPS) kita mengeluarkan laporan yang semestinya mengguncang kesadaran kita: *35% pekerja muda Indonesia bekerja tidak sesuai dengan tingkat pendidikannya!* Angka ini bukan sekadar statistik. Ini bukti bahwa pendidikan dan pasar kerja kita berjalan di dua rel yang tidak sejalan.

Dari proporsi itu, 22,4% tergolong _overeducated_ dan 13% _undereducated_. Artinya jelas: *sebagian lulusan memiliki keterampilan yang tidak dibutuhkan, sementara sebagian lainnya kekurangan keterampilan yang diperlukan. Ini bukan hanya ketidaksesuaian. Ini pemborosan modal manusia!*

_Overeducated_ tidak otomatis produktif. Justru sering berarti ada jurang antara aspirasi dan realitas— antara ijazah dan kompetensi, antara gelar dan kebutuhan pasar.

Ironisnya makin kentara ketika kita melihat pengangguran terdidik. *Hanya 12% angkatan kerja Indonesia yang menyelesaikan pendidikan tinggi* – jauh di bawah Korea Selatan (70%) dan Malaysia (40%). *_Undereducated.*_

Namun dari kelompok kecil itu, 28% justru menganggur atau bekerja kurang dari 35 jam per minggu! _*Overeducated.*_

_Undereducated, yet overeducated_. Paradoks yang sulit dicari tandingannya.

Data 2022/23 menajamkan gambaran itu:

• Dari seluruh pekerja berpendidikan tinggi, 81,1% adalah sarjana+ (S1, S2, S3).

• Dari seluruh pengangguran terdidik, 81% juga sarjana+.

• 76% lulusan sarjana+ bekerja di sektor informal, jauh dari relevansi pelatihan akademiknya.

Fenomena ini bukan baru kemarin. Pada 1994–1995, melalui berbagai tulisan (“Pengangguran Usia Muda”, Kompas, 17/3/1995; “Pendidikan dan Pasar Tenaga Kerja,” Media Indonesia, 1/8/1994; “Pengangguran Tenaga Terdidik,” Suara Karya, 6/7/1994), kami sudah mengangkat isu yang sama.

Penyebabnya, kami tulis waktu itu, berlapis: ketidakcocokan keterampilan, preferensi terhadap pekerjaan aman, daya serap sektor formal yang lambat, struktur ekonomi yang kurang berbasis agro-industri dan jaringan manufaktur, hingga arus informasi tenaga kerja yang tidak memadai.

Paradoks _undereducated yet overeducated_ ini dapat ditilik dari dua sisi. Sisi penawaran, misalnya, menunjukkan “kelebihan” lulusan sarjana karena bias persepsi yang mengakar: gelar sarjana dianggap lebih prestisius, lebih aman, lebih terhormat.

Sebaliknya, vokasi akademi dipandang berisiko, berstatus rendah, atau kurang menarik. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Banyak negara berkembang mengalaminya.

Dalam penelitian kami, “_Prestige, Risk, and Policy: Behavioral Frictions and the Persistence of Educational Misallocation_,” bias ganda—prestise sarjana dan stigma vokasi—terbukti dapat meningkatkan tingkat overeducated hingga 35 poin persentase di atas level efisien.

Sistem pendidikan kita memperkuat bias ini. Hanya 19% lulusan pendidikan tinggi berasal dari jalur vokasi. Ini arah pertumbuhan pendidikan tinggi yang keliru—seperti yang kami bahas dalam buku “_*Now or Never*_” sebagai pertumbuhan pendidikan yang salah arah.

Namun sisi permintaan tidak kalah penting. Para lulusan kita beroperasi dalam lingkungan ekonomi dan institusional yang membatasi ruang gerak mereka.

Pertama, struktur ekonomi masih didominasi sektor yang tidak intensif keterampilan tinggi. Ketika ekonominya belum siap, ekspansi jalur akademik hanya menciptakan antrian panjang gelar yang tidak terpakai.

Kedua, dominasi sektor informal menghancurkan sinyal nilai gelar akademik. Banyak sarjana bekerja di pekerjaan yang tidak memerlukan pelatihan akademik, sehingga batas antara vokasi dan akademik mengabur.

Ketiga, bias rekrutmen sektor publik ikut menyumbang masalah. Banyak posisi administratif mensyaratkan S1+, meski keterampilan vokasi lebih relevan bagi produktivitas sektor privat. Ini mendistorsi orientasi masyarakat: gelar lebih penting daripada kemampuan.

Keempat, inertia sistem pendidikan—kurikulum usang, institusi kaku, insentif yang tidak relevan—membuat vokasi sulit berkembang. Universitas tumbuh seperti opsi default, bukan pilihan strategis.

Kelima, arus informasi pasar kerja yang lemah menutup akses keluarga dan siswa pada data akurat tentang prospek kerja. Koordinasi antar kementerian pun lemah, membuat prioritas pelatihan tak pernah selaras dengan kebutuhan industri.

Penawaran dan permintaan yang tidak selaras menciptakan pasar tenaga kerja yang kurang sehat. Akhirnya lahir justru generasi yang secara bersamaan _undereducated dan overeducated_—kekurangan keterampilan yang dibutuhkan, tetapi memiliki gelar yang tidak bisa digunakan.

Di sinilah kemendesakannya. Indonesia berdiri di ambang jendela demografis yang makin menyempit. Waktu kita hampir habis. Kita tak bisa lagi menumpuk ijazah tanpa arah.

Kita membutuhkan pendidikan yang menekankan kemampuan nyata, bukan gelar kosong. Keterampilan yang relevan, bukan seremonial administratif. Vokasi yang kuat, bukan sekadar pelengkap. Dan industri yang benar-benar sanggup menyerap tenaga kerja terampil.

Lalu, dari mana memulainya? Transformasi ekonomi, atau transformasi pendidikan tinggi? Secara ideal, keduanya berjalan bersamaan. Tetapi dalam setiap perubahan, manusialah motornya. Maka jawabannya jelas: transformasi pendidikan tinggi (PT) harus terjadi lebih dulu. Tanpa itu, transformasi ekonomi hanya tinggal wacana.

Jika perguruan tinggi kita tidak berubah total—dari kualitas akademik, struktur kelembagaan, sampai ekosistem inovasinya—kita hanya terus mencetak generasi yang kalah sebelum bertanding. Generasi yang terjebak dalam paradoks pendidikan yang kita bangun sendiri. Kita memang kekurangan tenaga kerja berpendidikan tinggi. Tapi bukan sembarang pendidikan tinggi, melainkan yang bisa bekerja, memecahkan masalah, dan mencipta nilai.

Pada akhirnya masa depan sebuah bangsa tidak ditentukan oleh seberapa banyak ijazah dicetak, tetapi oleh kecocokan antara apa yang diajarkan, apa yang dikuasai, dan apa yang benar-benar dibutuhkan untuk maju. Ini sederhana, tetapi sangat menentukan.

Mereka yang lahir dari sistem pendidikan tinggi yang telah bertransformasi—berkelas global, inovatif, dan relevan—itulah yang kelak menjadi penggerak utama transformasi ekonomi Indonesia. Tanpa mereka, kita hanya berputar di tempat.

(Elwin Tobing, Profesor Ekonomi, Presiden INADATA, Irvine, AS. Buku terbarunya, “*Now or Never: Total Transformation of Higher Education as the Key to Indonesia’s Future*”. *Now or Never* adalah blueprint transformasi Indonesia.)

Artikel PARADOKS PENDIDIKAN INDONESIA: Undereducated, yet overeducated pertama kali tampil pada Portal Berita Kristen Indonesia.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel



Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari GerejaOnline selain "" di Grup Telegram Gereja. Klik link https://t.me/kabargereja kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.

Gereja Online


Iklan Bawah Artikel