Salah Kaprah soal Standardisasi Kemasan Rokok Sebabkan Rokok Ilegal, IYCTC Luruskan Isu yang Beredar
Salah Kaprah soal Standardisasi Kemasan Rokok Sebabkan Rokok Ilegal, IYCTC Luruskan Isu yang Beredar
Jakarta, 9 Juli 2025 –
Isu yang mengaitkan kebijakan standardisasi kemasan rokok dengan meningkatnya peredaran rokok ilegal kembali mencuat. Sebagai organisasi orang muda yang aktif mendorong kebijakan berbasis bukti, Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) menilai perlu adanya klarifikasi agar publik tidak terjebak pada kesimpulan yang menyesatkan dan gagal melihat akar persoalan yang sebenarnya.
Standardisasi kemasan merupakan kebijakan yang dirancang oleh Kementerian Kesehatan sebagai bagian dari upaya pengendalian konsumsi rokok, khususnya untuk menurunkan daya tarik produk tembakau terhadap anak dan remaja. Dengan menghapus elemen desain seperti warna, logo, dan citra merek, kemasan rokok dibuat polos dan seragam, dengan peringatan kesehatan bergambar yang lebih mencolok.
“Banyak yang salah kaprah. Desain kemasan bukan pemicu rokok ilegal. Kalau kita bicara data, negara-negara seperti Australia, Inggris, dan Prancis sudah lebih dulu menerapkan kebijakan ini, dan tidak ada bukti peningkatan rokok ilegal akibat kemasan polos,” ujar Manik Marganamahendra, Ketua Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC).
Studi di Inggris menunjukkan bahwa setelah kebijakan ini diterapkan, jumlah orang yang mengaku pernah ditawari rokok ilegal justru menurun. Di Australia, peredaran rokok ilegal tetap terkendali bahkan menurun beberapa pekan pasca kebijakan diimplementasikan. Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas kebijakan sangat ditentukan oleh sistem pelaksanaannya, bukan bentuk kemasannya.
Sebagai organisasi yang dipimpin orang muda, IYCTC menegaskan bahwa orang muda adalah kelompok yang paling rentan disasar industri rokok. Karena itu, penting bagi publik muda mendapatkan informasi yang jernih dan berbasis bukti, bukan narasi yang dibangun untuk kepentingan industri.
IYCTC juga menanggapi konten video youtube berdurasi sekitar 10 menit yang baru-baru ini dirilis dari seorang tokoh publik muda dengan lebih dari 1,63 juta pengikut di kanal youtubenya, yang menyatakan kekhawatirannya terhadap kebijakan standardisasi kemasan yang berpotensi memperbesar peredaran rokok ilegal.
“Kami mengapresiasi komitmennya untuk tidak lagi merokok di depan kamera, itu bentuk tanggung jawab yang patut dihargai, apalagi audiensnya banyak dari kalangan muda. Tapi kami merasa penting untuk meluruskan informasi yang bisa menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat,” lanjut Manik.
Manik menjelaskan bahwa peningkatan peredaran rokok ilegal lebih dipengaruhi oleh persoalan struktural yang kompleks, bukan soal kemasan polos. Salah satunya adalah suplai yang justru sengaja disediakan oleh pihak-pihak tertentu di dalam industri itu sendiri.
“Selain lemahnya penindakan dan pengawasan hukum terhadap rokok ilegal, temuan CISDI menunjukkan bahwa rokok ilegal paling tinggi ditemukan di kota-kota seperti Surabaya (20,6%) dan Makassar (21,4%), yaitu wilayah yang dekat dengan pelabuhan besar dan pusat produksi tembakau. Sementara kota lain yang dekat wilayah produksi, tapi tidak jadi jalur distribusi utama, angkanya jauh lebih rendah. Jadi ini bukan soal harga atau bungkus, tapi soal distribusi dan kontrol suplai,” tambah Manik
Selain itu, lemahnya pengawasan terhadap produsen mikro dan kecil, tidak adanya pembatasan kepemilikan mesin pelinting, serta tidak berjalannya sistem pelacakan distribusi juga memperparah situasi. Survei CISDI menemukan bahwa banyak produk ilegal yang bahkan sudah mencetak peringatan kesehatan menyerupai produk legal. Hal ini menunjukkan bahwa sudah ada skala produksi yang besar dan permasalahan pada rantai pasok ini harus segera diatasi dengan tegas.
*Ni Made Shellasih, Program Manager IYCTC* juga menanggapi narasi lama soal ekonomi industri rokok yang sering dijadikan alasan untuk menolak regulasi. “Selama ini, isu soal lapangan kerja dan ekonomi di sektor tembakau selalu dibawa ke depan. Padahal kita perlu melihat lebih jernih, kontribusi ekonomi industri ini tidak sebanding dengan beban sosial dan biaya kesehatan yang harus ditanggung negara,” jelas Shella.
Data BPJS menunjukkan bahwa beban pembiayaan pengobatan penyakit akibat rokok terus meningkat setiap tahun dan menjadi salah satu beban terbesar bagi sistem kesehatan nasional. Riset CISDI (2021) menunjukkan bahwa konsumsi rokok pada 2019 membebani sistem kesehatan dengan biaya sebesar Rp 17,9 hingga 27,7 triliun, angka yang hampir menyamai 92% dari total defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tahun tersebut.
IYCTC mengajak agar publik, media, dan pembuat kebijakan tidak lagi terjebak pada narasi industri yang menyalahkan kebijakan, namun menutup mata terhadap akar masalah sebenarnya. Fokus seharusnya ada pada penguatan pengawasan, penindakan terhadap produsen ilegal, serta penerapan sistem pelacakan/track and trace yang menyeluruh untuk menutup celah distribusi rokok gelap.
“Kami juga mendorong agar kebijakan standardisasi kemasan tetap dilanjutkan dan dijalankan dengan serius. Karena dampaknya bukan cuma soal kesehatan masyarakat, tapi juga menyangkut keberlanjutan sistem jaminan sosial negara. Pemerintah daerah juga harus memaksimalkan dana bagi hasil cukai (DBH-CHT) untuk pengawasan dan edukasi agar kebijakan ini tidak berhenti di atas kertas,” tutup Shella